Bismillaahirrahmaanirrahiim…
Mungkin bagi orang lain kedua foto ini hanya sekedar foto biasa. Tapi bagi kami, foto ini lebih dari hanya sekedar foto bertiga dengan toga. Kedua foto ini seakan bisa bercerita tentang bagaimana masa-masa dikala itu terasa begitu beratnya, namun menjadi sebuah kenangan yang indah pada akhirnya. Terkadang, kita tertawa dengan mengingat kembali hari-hari ketika kita menangis dan kita menangis dengan mengingat kembali hari-hari ketika kita tertawa. Begitulah hidup dengan suka dan dukanya, disetiap fase kehidupan selalu ada ujian dengan level yang berbeda. Biasanya, ujian yang dihadapi sekarang akan terasa lebih berat dari ujian sebelumnya. Padahal mungkin, hanya karena belum dilewati saja. Bagaimanapun disetiap ujian pasti ada hikmahnya.
Menapak tilas balik perjalanan kami bersama, berawal di sebuah kota yang dahulu dikenal dengan julukan Paris van Java. Kota kembang yang katanya bukan hanya masalah geografis, tapi lebih jauh dari itu melibatkan perasaan, yang bagi kami pun rasa itu memang benar adanya. Kami berkenalan disaat masih kuliah sarjana dikampus yang sama. Kemudian baru menyadari ternyata kami juga berasal dari satu SMA. Memiliki karakter yang cukup berbeda tapi ternyata mempunyai visi yang sama membuat kami merasa jadi tempat yang nyaman untuk bercerita. Anehnya, kenyamanan itu seringkali berakhir menjadi persaingan, bersaing secara sehat tentunya. Terlahir di pulau yang berbeda, namun sama-sama memiliki darah rantau yang kental dari keluarga. Kami sudah terbiasa hidup jauh dari orangtua untuk sekolah sedari remaja. Sedikit banyaknya, kami juga mempunyai kebiasaan yang sama, yaitu memetakan mimpi-mimpi dengan motivasi yang berbeda. Kami pun mempunyai salah satu cita-cita yang sama, yaitu ingin ke luar negri untuk melanjutkan sekolah S2. Bagaimanapun, saat itu aku dilema. Disatu sisi, motivasi saat itu ingin mewujudkan mimpi almarhum Ayahanda yang telah tiada secara tiba-tiba, disaat masih kuliah sarjana semester kedua. Disisi lain, tidak ingin memberatkan ibunda dengan biaya.
Singkat cerita, dengan berbagai upaya dan doa, Alhamdulillah pada akhirnya kami berdua dapat melanjutkan studi S2 di Jerman dengan jalan yang berbeda, bekerja dan beasiswa. Rentetan tantangan hidup diluar negri tanpa keluarga tentu saja sudah hal yang biasa bagi diaspora. Belajar beradaptasi dengan semua hal yang baru dan berbeda, mulai dari negara, aturan, manusia hingga bahasa. Entah bagaimana caranya menceritakan bagaimana Allah berkali-kali memberikan kami pertolongan-Nya. Sampai pada akhirnya, kami dapat menyelesaikan studi S2 kami dengan jarak waktu yang tidak jauh berbeda. Alhamdulillah, kami juga ditawarkan untuk melanjutkan studi ke jenjang doktor oleh masing-masing professor di negara yang berbeda, yaitu Jerman dan Finlandia. Tentu kesempatan ini tidak ingin kami sia-siakan begitu saja.
Mengawali studi S3, kami pun memutuskan untuk berumah tangga. Harus diakui, saat itu memang bukan waktu yang mudah untuk membagi fokus menyiapkan segala sesuatunya. Pada tahun pertama studi S3 merupakan masa-masa krusial yang akan mempengaruhi tahun-tahun berikutnya. Saat itu, aku juga sedang disibukkan dengan proses submit dan revisi jurnal pertama. Sekali lagi, Allah menunjukkan kekuasaan-Nya, semua berjalan sebagaimana mestinya. Benar adanya bahwa menikah itu pasti ada rejekinya, selama niatnya untuk beribadah kepada-Nya.
Dipertengahan studi S3, alhamdulillah kami dititipkan seorang anak pertama. Tidak dapat dipungkiri selain rasa bahagia, rasa was-was pun tetap ada. Terlebih lagi saat itu kami masih harus tinggal di dua kota yang berbeda. Dari awal kehamilan hingga memasuki kehamilan trimester kedua, aku harus bolak-balik melakukan perjalanan darat maupun udara untuk tujuan dan kepentingan yang berbeda. Drama mual ditrimester pertama seringkali dihabiskan dipesawat dan kereta. Puncaknya, saat harus mengikuti konferensi untuk mempresentasikan hasil penelitian di Barcelona. Bagaimana perasaannya saat itu jangan ditanya, campur aduk rasanya. Mengeluh pasti ada. Bahkan sempat terpikir untuk menyerah juga ada.
Pada tahun 2020, tepatnya di awal pandemi alhamdulillah anak pertama kami lahir kedunia. Tidak bisa dipungkiri, masa pandemi memang masa yang tidak mudah bagi semua orang pada umumnya. Banyak orang yang kehilangan pekerjaan, bahkan tidak sedikit juga yang kehilangan orang-orang tercinta. Bagaimanapun, masa pandemi membawa anugerah yang tidak kami sangka. Tepat memasuki kehamilan trimester kedua, kondisi pandemi membuat aturan work from home berlaku hampir disemua negara. Aturan ini memudahkan kami untuk melakukan semua hal dirumah secara bersama-sama. Suami pun tidak perlu harus bolak-balik Jerman-Finlandia. Pada saat awal baru menjadi ibu, aku harus terbiasa menyusui bayi sambil didepan laptop untuk menulis paper, membaca jurnal, analisa data hingga percobaan simulasi codingan yang tidak terhitung jumlahnya. Rentetan malam-malam kami yang dipenuhi dengan diskusi bersama, „giliran siapa nih yang mau bergadang malam ini untuk mengerjakan disertasinya?“.
Sampai di satu titik, kami pernah hampir terbesit untuk berhenti saja. Percakapan seperti “kamu saja yang fokus untuk selesaikan disertasi, aku tidak apa tidak selesai” seringkali terucap saling bergantian disaat rasanya semua tidak berjalan sesuai rencana. Tidak jarang juga berakhir dengan air mata. Melihat anak masih bayi tentu ada rasa bersalah kalau menyerah begitu saja. Campur aduk rasanya, terlebih mengingat janji dan tanggungjawab tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga. Sampai pada akhirnya, kami menyadari bahwa hanya mengeluh bahkan menyerah tidak akan menyelesaikan dan merubah apa-apa. Semua waktu, usaha dan segala hal yang sudah diperjuangkan hanya akan sia-sia. Hingga pada akhirnya berusaha untuk semangat “sekali layar terkembang, pantang surut kembali kebelakang“ ditancapkan kembali didada. Berusaha menyelesaikan apa yang sudah kami mulai dan fokus dengan apa yang kami punya. Kami pun menyadari ada yang perlu dibenahi secara bersama:
Membuat timeline dan kemajuan setiap harinya
Sekecil apapun progress atau kemajuan yang kita lakukan pada hari ini dibandingkan hari sebelumnya, akan jauh lebih baik daripada jika hari ini dan kemarin tidak ada bedanya. Yang terpenting adalah bagaimana kemajuan sekecil apapun itu dilakukan secara konsisten setiap harinya.
Memetakan mimpi dan membayangkan hasilnya
Kami terbiasa memetakan mimpi bersama, kemudian membayangkan bagaimana rasa bahagianya jika semua mimpi itu menjadi nyata. Ternyata, kebiasaan ini sama-sama sudah kami lakukan sedari remaja, hanya saja mungkin dengan cara yang berbeda. Aku terbiasa membuat „peta hidup“ setiap tahunnya, sebuah peta tentang target apa saja yang sudah terwujud sebagai bahan evaluasi dan juga rencana untuk tahun berikutnya. Suami pun demikian, dia terbiasa memvisualisasikan mimpinya kemudian menempelkan didinding kamarnya. Setelah berkeluarga, kebiasaan itu kami gabung dan lakukan secara bersama-sama. Kami membuat „peta hidup“ sebagai keluarga setiap tahunnya dan memvisualisasikan mimpi-mimpi besar kami bersama. Bagaimanapun, manusia hanya bisa berencana, Allah yang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk hamba-Nya.
Mengimbangi waktu untuk diri sendiri, pasangan maupun sebagai orangtua
Seringkali seorang ibu menuntut diberikan waktu untuk diri sendiri atau me-time oleh suaminya. Terlebih lagi jika pekerjaan rumahtangga dan pengasuhan anak harus dilakukan oleh seorang ibu sendirian dikarenakan ayah harus bekerja. Tentu hal ini boleh saja. Bagaimanapun, waktu bersama atau we-time baik sebagai suami-istri, ayah-anak, ibu-anak maupun ayah-ibu-anak juga sama pentingnya. Ibu dan ayah juga perlu mempunyai waktu bersama yang berkualitas atau quality time sebagai suami dan istri, walau hanya sekedar bercerita. Ayah juga dapat meluangkan waktu untuk pergi berdua saja bersama anak, walau hanya sekedar pergi belanja misalnya. Dengan demikian, ibu pun tentu akan merasa terbantu dan bisa mengerjakan pekerjaan lainnya. Meluangkan waktu jalan-jalan sebagai keluarga bersama anak juga tidak boleh lupa, dan berusaha melupakan sejenak masalah pekerjaan kantor maupun pekerjaan rumahtangga.
Memahami tanggungjawab masing-masing dalam rumahtangga
Seringkali masalah rumah tangga salah satunya disebabkan oleh kurangnya kerjasama. Terlebih jika hanya fokus pada siapa yang lebih berperan dalam rumahtangga. Ayah yang merasa paling lelah karena bekerja, ibu yang merasa paling lelah karena mengurus anak dan pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya. Bagaimanapun, peran ibu maupun ayah sama pentingnya. Kerjasama yang baik antara ayah dan ibu dalam pengasuhan anak akan mempengaruhi tumbuh kembangnya.
Nasihat dari almarhumah ibunda yang semoga akan selalu menjadi pengingat disaat kami lupa, bahwa suami-istri harus saling jujur dan terbuka. Bukan hanya sekedar berkomunikasi, tapi saling peduli tanpa merasa diawasi disetiap waktunya. Tidak hanya sekedar saling memuji dengan kata-kata, tapi bagaimana saling mengapresiasi disetiap kecil usahanya. Tidak hanya saling mengerti, tapi juga saling menghargai perasaannya. Ada saatnya istri berbicara, ada saatnya suami berbicara, keduanya harus memahami dalam membaca situasi dan kondisi pasangannya. Ada saatnya istri inisiatif, tanpa suami harus posesif, begitupun sebaliknya. Kalau keduanya sudah tahu kewajiban nasing-masing di dalam rumah tangga, tidak ada yang perlu menuntut haknya.
Memohon doa restu orangtua
Terdengar klasik. Namun, kami meyakini bahwa apapun yang telah kami selesaikan tentu tidak lepas dari peran dan doa restu orangtua maupun mertua.
Setelah kami mencoba membenahi segala sesuatunya, akhirnya upaya yang dilakukan ternyata memberikan setitik cahaya. Hingga pada akhirnya, kami dapat menyelesaikan studi S3 dengan hasil yang istimewa dan dengan jarak waktu yang tidak jauh berbeda. Diwaktu yang tepat, yang tidak pernah kami sangka. Sungguh luar biasa jika mengingat begitu indah rencana-Nya. Merasa bersyukur bagaimana Allah berkali-kali membuktikan kepada kami bahwa tidak ada yang perlu kami ragukan atas apa-apa yang kami minta namun tidak diberikan oleh-Nya. Tugas kami hanya berusaha semaksimal mungkin dan berdoa. Pada akhirnya, berserah diri terhadap apapun hasilnya.
Bagaimanapun, harapannya masa-masa itu tidak hanya menjadi pengingat bagaimana susah-susahnya, tapi juga menjadi motivasi saat kami lupa bahwa masih ada tanggungjawab yang sesungguhnya didepan mata.
Setiap orang memiliki definisi kesuksesan yang berbeda. Ada yang mendefinisikan kesuksesan dengan harta, tahta maupun strata. Bagaimanapun kami menyadari masih jauh dari kesuksesan dunia. Bagiku, kesuksesan adalah ketika ilmu yang telah didapat dapat bermanfaat tidak hanya untuk diri sendiri dan keluarga dan juga tidak hanya didunia. Apapun yang kita lakukan didunia akan diminta pertanggungjawabannya, termasuk ilmu yang didapat sudah dipergunakan untuk apa. Bagaimanapun hal tersebut masih menjadi tantangan bagi kami selanjutnya.
Definisi kegagalan pun demikian, setiap individu akan berbeda. Seiring dengan pertambahan usia, biasanya kebanyakan orang akan mengatakan bahwa menuntut ilmu sudah bukan lagi masanya, menuntut ilmu hanya untuk yang masih muda saja. Padahal tanpa disadari, selama kita masih hidup kita harus terus belajar, baik tentang ilmu dunia maupun agama. Hanya saja, mungkin dengan jalan atau cara yang berbeda. Kegagalan bagiku adalah takut bermimpi, terlebih ketika keinginan untuk belajar sudah tidak ada.
Salam,
@hannyjihanny
Tidak ada komentar:
Posting Komentar