Melakukan studi S3 adalah tantangan yang menguras tenaga, pikiran, perasaan dan juga kantong (tapi bisa juga mengisi kantong 😄). Oleh karena itu, bukan hal mudah untuk menjaga konsistensi dan semangat untuk dapat menyelesaikan studi S3. Seringkali mendengar dan melihat sendiri mahasiswa S3 yang membutuhkan konsultasi dengan psikolog, karena berbagai tekanan terkait penelitian. Bahkan ada yang sampai berhenti dari risetnya disaat penelitian sudah berjalan selama beberapa tahun.Hal ini bukan hal yang baru dan biasa terjadi dalam proses studi S3. (bagaimana perjalanan umum kuliah S3)
Tantangan terkait penyelesaian pendidikan, bukan cuma pendidikan S3, tetapi berbagai tingkat pendidikan lainnya pun, bagi individu dan mungkin utamanya perempuan tantangannya bisa menjadi menjadi semakin besar, ketika rencana untuk berkeluarga dan memiliki anak. Banyak yang jadinya memilih untuk tidak menyelesaikan pendidikan yang menurut pendapat pribadi saya adalah hal yang sangat wajar. Oleh karena itu, ketika saya dan istri berdiskusi terkait rencana memiliki anak, kami duduk bersama, diskusi kapan dan bagaimana kondisi yang akan dijalani ketika memiliki anak (say NO to childfree). Kemudian, kami merencanakan, membisikkan rencana kami pada Yang Maha Esa. Setelah dua tahun menjalani pernikahan,
alhamdulillah istri dapat menyelesaikan pendidikannya. Dengan berbagai lika-liku, pasang surut motivasi dalam meneliti dan sebagai orang tua baru, hal tersebut menjadi semakin menantang dikarenakan rencana orang tua untuk datang, terkendala pandemik, sehingga kami harus mengalami sendiri tahap-tahap awal menjadi orang tua tanpa pendamping disisi kami.
Semua tantangan selama masa kehamilan, persalinan dan dua tahun awal usia anak kami, alhamdulillah dapat terlewati dan istri pun berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan predikat "Magna Cumlaud", hal yang membuat saya sangat bangga dan terharu dengan perjuangan istri saya.
Berikut ini 5 hal yang saya lakukan, selama mendukung pendidikan istri saya:
- Membantu pekerjaan rumah. Kebiasaan hidup merantau, membuat saya terbiasa mandiri dan melakukan pekerjaan rumah. hal ini sangat membantu selama hidup di eropa, dan saya juga sangat senang membantu istri saya dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Menurut saya, (jika masih dilakukan manual) mencuci piring, menyiapkan pakaian bersih dan bersih-bersih rumah adalah tanggung jawab kepala keluarga sebagai janji pernikahan untuk memenuhi kebutuhan sandang pangan dan papan. Adalah sebuah bentuk sedekah bagi istri, jika hal tersebut dilakukan oleh istri ketika suaminya bekerja.
- Visualisasi dan "binkaisasi" target bersama dan individu. saya dan istri terbiasa menvisualisasikan target kami, menuliskan dalam buku, mengulang-ulang dan menyuarakan dengan orang tua. Orang tua kami pun selalu memberikan masukan untuk memvisualisasikan kelak akan jadi apa diri kami. Kami bahkan menambahkan sedikit kreativitas dengan membuat desain, gambar, kata-kata, kemudian membingkai dan menempelkan di dinding kamar tidur kami. Hal ini selalu memotivasi diri kami, seperti ketika menuliskan nama istri dengan gelar pendidikannya, kemudian membisikan kepada Yang Maha Esa bagaimana bahagia dan bersyukurnya kami, ketika bisa berpelukan bersama dengan "toga" penyelesaian kuliah kami.
- Selalu tawarkan "me time". Terkadang istri membutuhkan waktu untuk dapat duduk tenang dan fokus pada kuliahnya, tapi disisi lain, mereka juga mungkin tidak tega melihat suaminya sudah kerja seharian dan minta untuk menjaga anak misalnya. Selalu inisiasi untuk tawarkan "me time" adalah salah satu hal yang saya lakukan. Menemani anak bermain seharian penuh di saat malam dan pagi hari sebelum kerja, atau sekedar pergi berdua dengan anak pada saat weekend adalah hal yang bisa membantu istri ketika membutuhkan sedikit konsentrasi dengan tugas-tugasnya.
- Banyak diskusi dan banyak jalan. Tekanan tugas-tugas yang tinggi dapat mengakibatkan stress dan merusak hari-hari. Kami selalu diskusi, terkait penelitian yang kami lakukan, bertukar pikiran dan gagasan, bahkan sering saling melihat "source code" yang masing-masing buat. Kami pun melakukan banyak wisata singkat, tetapi dengan jalan kaki. Kami sangat senang jalan kaki, dan alhamdulillah dengan transportasi publik yang bagus (juga karena belum punya sim eropa 😅), hal tersebut sangat nyaman dilakukan di eropa.
- Lebih banyak kerja dari rumah, atau jika pekerjaan tidak memungkinkan, cari kerja baru yang memungkinkan kerja dari rumah/jarak jauh. Hal terakhir ini adalah hal yang cukup beresiko, akan tetapi ya, terkadang resiko perlu diambil, ketika sudah didiskusikan bersama dan siap dengan konsekuensi bersama. Tetapi, buat saya keluarga adalah nomor satu, jika pekerjaan belum bisa mendukung kebutuhan mendesak dari keluarga, maka saatnya cari pekerjaan baru, atau mungkin buat pekerjaan baru. Bersyukur selama masa pandemik, kerja dari rumah sangat memungkinkan dan juga didukung oleh tempat kerja, pun saat menulis artikel ini sedang bekerja di perusahaan yang mendukung kerja remote 100%. Dengan fleksibilitas tempat dan waktu, saya menjadi siaga dengan keperluan istri yang mendadak.
Demikian 5 hal yang saya lakukan selama beberapa tahun terakhir ini untuk mendukung penyelesaian pendidikan istri, hal tersebut hanyalah faktor kecil, dibandingkan dengan doa dari orang tua, almarhumah mertua (kehilangan orang tua), usaha yang dilakukan istri sehingga atas izin Allah SWT, memudahkan langkah kami.
Salam,
I. Nurhas
Sangat inspiratif,
BalasHapus